SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI ACEH
I.PENDAHULUAN
Sebelum Islam masuk ke Nusantara, masyarakat kita umumnya adalah penganut Hindu-Budha dan kepercayaan lokal lainnya seperti Animisme dan Dinamisme. Masuknya Islam di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan keberadaan tasawuf. Hal ini dikarenakan adanya kedekatan pandangan dan pemahaman mengenai Tuhan antara para kaum sufi dengan masyarakat Indonesia. Sufisme yang menekankan aspek mistisme agama lebih memungkinkan tasawuf untuk diterima di Indonesia dibandingkan dengan aspek lain dalam agama Islam.
Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang Islam meninggalkan Malaka dan pindah ke Aceh untuk melakukan kegiatan perdagangannya. Bersama mereka juga turut para Ulama dan pujangga. Dalam waktu 50 tahun kemudian, Aceh telah menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat pengkajian Islam di kawasan Asia Tenggara.1
II.RUMUSAN MASALAH
A.Bagaimana Proses Awal Masuknya Islam di Aceh?
B.Bagaimana Perkembangan Tasawuf di Aceh?
C.Siapa Saja Tokoh-tokoh Penyebar Tasawuf di Aceh?
III.PEMBAHASAN
A.Awal Masuknya Islam di Aceh
Sebelum Islam datang ke Aceh, rakyat Aceh masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, lalu agama Hindu dan Budha masuk ke Aceh. Masyarakat Aceh kemudian menganut agama Hindu. Hingga kemudian datanglah Islam melalui para saudagar Islam yang datang ke Aceh untuk berdagang. Dengan cara perlahan dan bertahap, tanpa menolak dengan keras terhadap sosial kultural masyarakat sekitar, Islam memperkenalkan persamaan derajat. Hal ini mampu menarik perhatian masyarakat sekitar untuk memeluk Islam.2
Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara. Aceh yang terletak di ujung pulau Sumatra mampu memegang peranan penting di Nusantara maupun di luar Nusantara.
Menurut Dr. M. Abdul Karim, Double M.A, di Sumatera telah ada negeri Islam yaitu Peureulak (Perlak) sebagai pusat penyebaran Islam di pelabuhan Sumatera Utara. Masuknya Islam di Perlak melalui proses mission sacre (proses dakwah bi al-hal) yang dibawa oleh para muballigh yang merangkap tugas menjadi pedagang.3
Banyak dari para pedagang – pedagang tersebut menikah dengan wanita Perlak yang telah masuk Islam. Semangat keislaman masyarakat Perlak waktu itu sangat tinggi, yang akhirnya kabar datangnya agama baru tersebut terdengar ke telinga raja Perlak. Raja Perlak mengundang para saudagar ke istananya, di sana para saudagar menjelaskan tentang Islam. Akhirnya raja tersebut menerima Islam sebagai agama baru. Pada bulan Muharram, hari Selasa tahun 225 H / 840 M berdirilah kerajaan pertama Islam di nusantara yaitu di Perlak dan Raja yang pertamanya adalah Sayyid Maulana Abdul Aziz. Islam kemudian berkembang ke semenanjung Malaya dan kemudian kerajaan Samudera Pasai, dan ke seluruh wilayah di Nusantara.4
B.Perkembangan Tasawuf di Aceh
Tasawuf masuk dan berkembang di Aceh seiring dengan masuknya Islam di Aceh. Hal ini tak lepas dari peran para sufi yang menyebarkan Islam di Aceh. Selain itu, konsep ajaran tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan konsep kepercayaan sebelum masyarakat memeluk Islam membuat mereka lebih mudah menerima Islam aspek tasawuf dari pada aspek-aspek agama Islam yang lain. Perkembangan tasawuf di Aceh dapat dibagi dalam dua priode, yakni priode kalsik dan priode modern.
Dalam periode klasik pengaruh pemikiran tasawuf falsafi dari Baghdad dan Persia masih mendominasi. Seperti yang terlihat dalam konsep-konsep falsafi dalam mistisisme Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan lainnya.
Sementara dalam perkembagan modern, tasawuf di Aceh tidak dapat dipisahkan dengan gerakan perkembangan pemikiran modern dalam tasawuf di dunia Islam. Pada zaman modern, para cendikiawan melakukan reinterpretasi pada tasawuf dalam sebuah terma yang disebut neo sufisme. Tasawuf Modern mencoba memaknai kembali tasawuf dan memposisikannya dalam kehidupan manusia zaman ini. Tasawuf modern menekankan pentingnya aspek akhlak dalam kehidupan, dan inti sesungguhnya dari tasawuf adalah akhlak itu sendiri.5
Perkembanagan ilmu tasawuf begitu pesat terutama pada abad ke-16 dan ke-17 M, pengajaran ilmu tasawuf tersebut tak hanya berkembang di kalangan rakyat saja tapi juga mendapat tempat di kalangan pembesar istana. Selain para ulama yang datang dari Makkah dan India yang telah memeperkenalkan ilmu tasawuf dan kalam kepada masyarakat Aceh pada waktu itu, di Aceh telah lahir ulama – ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As – Sumatrani, Nuruddin Ar – Raniry dan Syeikh Abdurrauf Al – Sinkili.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As – Sumatrani merupakan dua orang ulama yang sangat berjasa dalam memprakarsai lahirnya faham Wujudiyyah6 di Aceh. Sedangkan Nuruddin Ar Raniry, seorang ulama yang menyanggah faham Wahdatus wujud di Aceh. Syeikh Abdurrauf Al Sinkili lebih di kenal sebagai ulama yang mendamaikan dua mazhab di Aceh.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, faham Wujudiyyah yang di kembangkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani di tentang oleh Nuruddin Ar Raniry. Namun pada masa ini, faham wujudiyyah telah dijadikan sebagai ajaran resmi dan direstui oleh Sultan sehingga Nuruddin tidak mendapatkan tempat di kerajaan Aceh.
Setelah Sultan Iskandar Muda mangkat dan digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin mempunyai kesempatan untuk menentang para pengikut faham wujudiyyah. Nuruddin senantiasa menulis dan berdebat dengan penganut faham wujudiyyah. Nuruddin menghukumi pengikut wujudiyyah yang tidak mau bertobat sebagai kafir dan halal untuk dibunuh. Selain itu, kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan dibakar di halaman masjid baiturrahman.7
Kesultanan Aceh sangat berperan penting dalam pengembangan ajaran tasawuf dan kalam. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani adalah tokoh penting dalam Kesultanan Aceh. Begitu pula dengan Nuruddin Ar Raniry dan Abdurrauf Al Sinkili, mereka juga adalah tokoh penting dalam Kesultanan Aceh.
C.Tokoh-tokoh Tasawuf Aceh
1.Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama besar. Diriwayatkan beliau pernah melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mengunjungi beberapa pusat pengetahuan Islam, termasuk Mekkah, Madinah, Yerussalem, dan Baghdad. Sehingga pantas jika beliau menguasai bahasa Arab dan Persi. Beliau adalah pengikut tarekat Qadiriyah yang dikembangkan Syekh Abdul Qadir Jailani. Selain sebagai Ulama, Hamzah Fansuri juga merupakan penulis yang produktif. Karya-karya beliau baik yang berbentuk syair maupun prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana Barat atau orientalis Barat maupun sarjana setempat.
Syair-syair Syekh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal. Dalam kesusasteraan Melayu/Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain:8
1.Syair Burung Pingai
2.Syair Dagang
3.Syair Pungguk
4.Syair Sidang Faqir
5.Syair Ikan Tongkol
6.Syair Perahu.
Hamzah Fansuri, pada akhir abad ke-16 dan awal ke-17, memperkenalkan ajaran Tasawuf Wujudiyyah. Dalam ajaran Wujudiyyah, di bicarakan tentang wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lain. Dalam faham Wujudiyyah yang di bawa Hamzah, ditemukan adanya aspek – aspek yang sama dengan konsep Ibnu ’Arabi 9 dan al-Hallaj.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat dari Zat Yang Maha Mutlak, Kadim dan Pencipta alam semesta tidak dapat ditentukan atau dilukiskan. Menurut Hamzah, penciptaan dari Zat Mutlak ke alam membutuhkan tahapan-tahapan. Ia membagi tahapan-tahapan ini kepada lima tahapan yang disebut dengan ta’ayyun atau penampakan.10
a.Pertama, ta’ayyun awwal yaitu Tuhan menampakkan diri-Nya melalui ilmu-Nya, sifat-Nya dan Nur-Nya
b.Kedua ta’ayyun tsani merupakan penampakan dalam diri Tuhan yang menghasilkan munnculnya pengetahuan terperinci tentang hakikat-hakikat alam (a’yyan tsabitah).
c.Ketiga ta’ayyun tsalist, yaitu penampakan Tuhan dalam alam arwah, tahap ini terjadi di luar zat yang Mutlak sehingga dinamakan a’yan kharijah.
d.Keempat, ta’ayyun rabi’ merupakan penampakan kepada seluruh makhluk, tapi masih dalam alam misal
e.Kelima, ta’ayyun khamis, penampakan Tuhan terakhir pada alam insan dan alam dunia.
2.Syamsuddin As-Sumatrani
Syamsudin adalah seorang keturunan ulama. Ayahnya bernama Abdullah As Sumatrani. Dia mendapat pendidikan kesufian dari Syekh Hamzah al Fansuri. Sama seperti gurunya, beliau mendapat posisi yang baik yakni perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di kerajaan Aceh. Selain sebagai perdana menteri, beliau juga seorang mahaguru, ahli poltik, ahli syari’at dan haqiqat, juga seorang tokoh pujangga Islam Indonesia.11
Syamsudin As Sumaterani adalah seorang pemuka kaum Wujudiyyah. Nuruddin Ar-Raniry menilai Syamsuddin As-Sumatrani adalah menganut faham Wujudiyyah mulhid12. Namun, Syamsuddin dan pengikutnya tidak menyebut diri mereka sebagai kaum Wujudiyyah, apalagi Wujudiyyah mulhid, zindiq, sesat, atau kafir. Karena mereka yakin berada dalam tauhid yang benar dan karena itu, mereka memandang diri mereka sebagai al-muwahhidin al-shiddiqin (para penganut-tauhid yang benar).13
Konsep Syamsuddin As-Sumatrani tentang Tuhan dengan corak faham Wahdatul Wujud dikenal juga dengan Martabat Tujuh, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Ketujuh martabat itu adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat ’alam arwah, martabat ’alam mitsal, martabat ’alam ajsam (alam benda), dan martabat ’alam insan.14
3.Nuruddin Ar-Raniry
Nuruddin Ar-Raniry 15 adalah seorang sufi yang menyanggah ajaran Wahdatul Wujud. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani, Nuruddin memperoleh kedudukan yang baik dan perlindungan Sultan di kerajaan Aceh. Hal ini memungkinkannya untuk menyerang dan membasmi ajaran Wujudiyyah yang dianggapnya sebagai ajaran sesat di Aceh.
Dalam berbagai karangannya, Nuruddin menyanggah ajaran Wujudiyyah Hamzah Fansuri. Seperti dalam suatu kitab yang berjudul Ma’ul Hayat li Ahlil Mamat, Nurudin menyanggah pernyataan Wujudiyyah tentang keesaan wujud Tuhan dengan wujud alam dan manusia. Dia mengatakan kalau benar Tuhan dan makhluk itu hakikatnya satu, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia. Jika demikian pula, maka manusia juga mempunyai sifat-sifat Tuhan. Hal ini adalah sesuatu hal yang mustahil.16
Dalam hubungannya dengan ajaran Wujudiyyah, Syekh Nuruddin menyampaikan beberapa pesan:
a.Kebanyakan orang menjadi sesat karena membaca kitab-kitab tasawuf yang mengandung banyak istilah, ibarat dan pesan yang tidak mampu mereka cerna maksudnya. Karena mereka hanya berpegang pada pengertian lahir saja maka mereka terjatuh ke dalam i’tikad yang salah.
b.Seharusnya orang awam tidak terpengaruh oleh ucapan wali-wali Allah yang sedang dalam keadaan fana.17
4.Syeikh Abdurrauf Al-Sinkili
Syeikh Abdurrauf bin Ali Fansuri Al Sinkili adalah seorang tokoh sufi penyebar tarekat Syathariyah di Aceh. Abdurrauf pernah berguru pada Syekh Ahmad al Qusyasyi, Ulama besar sufi Makah. Beliau juga pernah berguru di Madinah pada Syekh Ibrahim Al Kurani. Syekh Abdurrauf Al Sinkili telah diperbolehkan memakai Khirqah18. Beliau diberi selendang berwarna putih oleh gurunya dan dilantik sebagai Khalifah Mursyid dalam orde Thariqat Syathariyah, yang berarti beliau boleh pula membai’at orang lain.19
As Sinkili menganut paham mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Ia menerangkan ajarannya dalam dua karyanya Kifayat al Muhtajin ila Masyrab al Muwahidin al Qoilinbi Wahdat al Wujud dan Daqaiq al Huruf. Selain mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya, ia juga menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya. Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang dirinya yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen, yaitu potensi alam raya yang menjadi sumber dari pola-pola dasar luar, ciptaan dalam bentuk konkretnya. As Sinkili menyimpulkan meski pola dasar luar merupakan emanasi dari wujud mutlak, mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri. Hubungan keduanya seperti tangan dengan bayangannya.20
IV.KESIMPULAN
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, khususnya Aceh, masyarakat nusantara adalah pemeluk agama Hindu, Budha dan kepercayaan-kepercayaan lokal seperti Animisme dan dinamisme.
Islam dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Aceh, oleh para saudagar Islam yang sekaligus juga para sufi dari Timur Tengah maupun Gujarat.
Berkembangnya tasawuf di Aceh bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Hal ini karena ajaran tasawuf sesuai dengan kultural kepercayaan orang Aceh sebelum mereka memeluk Islam.
Ada beberapa tokoh tasawuf yang terkenal di Aceh, diantaranya adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin as Sumatrani, Nuruddin Ar Raniry, dan Abdurrauf As Sinkili.
V.PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami susun. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca yang budiman. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.
Daudi, Ahmad, Syekh Nuruddin Ar-Raniry Sejarah Karya dan Sanggahan Terhadap Wujudiyyah di Aceh, Jakarta:Bulan Bintang, 1978, cet. I.
Karim, M. Abdul, Islam Nusantara,Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Khaliq, Abdurrahman Abdul, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta: Amzah, 2000.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
www.forumsantri.com, diakses 5 November 2010 pukul 05.30 WIB.
http://filsafat.kompasiana.com/.../tasawuf-falsafi-di-nusantara-abad-ke-xvii, diakses 5 November 2010 pukul 05.30 WIB.
http://sehatihsan.blogspot.com/2008/08/tasawuf-di-aceh-sebuah-peta-kronologis.html, diakses 5 November 2010 pukul 06.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar